Mengupas beauty privilege dan stereotipe moralitas dalam “Wicked”
Musikal “Wicked” telah menjadi salah satu pertunjukan teater yang paling populer di dunia. Berdasarkan novel berjudul sama karya Gregory Maguire, musikal ini mengisahkan kisah seorang penyihir jahat dan penyihir baik yang hidup di dunia Oz sebelum kedatangan Dorothy.
Salah satu tema yang menarik untuk diungkap dalam “Wicked” adalah beauty privilege dan stereotipe moralitas yang sering kali muncul dalam kehidupan sehari-hari. Dalam cerita ini, kita melihat bagaimana karakter Elphaba, penyihir hijau yang dianggap jahat oleh masyarakat, menghadapi diskriminasi dan prasangka karena penampilannya yang berbeda.
Elphaba sering kali dianggap sebagai sosok yang jahat hanya karena warna kulitnya yang berbeda dan penampilannya yang menakutkan. Hal ini mencerminkan realitas kehidupan kita, di mana beauty privilege sering kali menjadi faktor penentu dalam menilai seseorang. Orang yang dianggap cantik atau tampan sering kali mendapat perlakuan yang lebih baik daripada orang yang dianggap tidak menarik secara fisik.
Stereotipe moralitas juga terlihat dalam hubungan antara Elphaba dan Glinda, penyihir baik yang populer di kalangan masyarakat. Glinda dianggap sebagai sosok yang baik dan sempurna, sementara Elphaba dianggap sebagai jahat dan tidak pantas untuk diterima. Namun, seiring berjalannya cerita, kita menyadari bahwa penilaian tersebut tidak selalu benar dan bahwa kebaikan dan kejahatan tidak selalu hitam-putih.
Dengan mengupas beauty privilege dan stereotipe moralitas dalam “Wicked”, kita diingatkan untuk tidak terjebak dalam penilaian berdasarkan penampilan atau label yang melekat pada seseorang. Setiap individu memiliki nilai dan potensi yang unik, dan layak untuk diterima dan dihormati tanpa memandang penampilan atau latar belakang mereka.
Dalam akhir cerita “Wicked”, kita melihat bagaimana Elphaba dan Glinda akhirnya menyadari bahwa perbedaan mereka tidak menghalangi persahabatan dan kebaikan mereka. Mereka belajar untuk melihat nilai sejati dalam diri masing-masing, tanpa terpengaruh oleh stereotipe dan prasangka yang ada di masyarakat.
Sebagai penonton, kita juga diajak untuk merenungkan beauty privilege dan stereotipe moralitas yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus berusaha untuk melihat nilai sejati dalam setiap individu, tanpa terpengaruh oleh penampilan atau label yang melekat pada mereka. Hanya dengan sikap terbuka dan penuh pengertian, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil bagi semua orang.